Jumat, 14 Oktober 2011

berbagi data online dan media sosial internet, pengaruh dan dampaknya

Zaman yang era canggih dan super cepat ini, segala bentuk informasi dan pengetahuan sangant mudah di dapatkan, mulai dari buku, surat kabar, majalah dan bahkan internet. Bicara mengenai internet kita bias mengkses apa saja yang kita inginkan baik untuk pengetahuan, informasi dan juga hanya sekedar untuk “seru-seruan”. Dengan akses informasi yang begitu mudah maka tak heran banyak orang yang berkata zaman sekarang sudah bukan lagi zaman informasi, namun sudah lebih dari itu. Zaman sekarang adalah zaman filterisasi informasi karena semakin banyak informasi dan semakin mudah kita dituntut untuk menyaring infromasi-informasi tersebut dengan benar, sehingga kita tidak di sesatkan dari berbagai informasi yang sudah ada.

Semakin tinggi keingintahuan seseorang di zaman sekarang, semakin banyak orang yang ingin memperlihatkan kemampuan nya, khususnya berbagi pengetahuan dan juga informasi, baik itu untuk hanya sekedar “eksis” atau dengan maksud tertentu, dengan tujuan kebaikan atau pun “kejahatan”. Banyak sarana untuk berbagi, khususnya di internet. Dengan berbagai inovasi dan perkembangan, telah banyak situs yang menyediakan media berbagi secara online, baik dari penyedia local maupun dari penyedia luar.
Media penyimpanan untuk berbagi gratis dan online, baik untuk berbagi data, informasi, music,poto, video,dan lain-lain sangat banyak kita temukan di internet. Sebut saja mediafire.com, 4shared.com, indowebster.com , ziddu.com. Beberapa situs pavorit itu, selain untuk media penyimpanan online dan gratis juga dapat di gunakan untuk social media, berkenalan, berbagi informasi juga dapat secara interaktif bertegur sapa dan arena social lain baik di forum2 nya atau pun lewat pesan inbox yang telah di di sediakan oleh penyedia situs tersebut.

Banyak hal positif yang dapat kita rasakan dengan media penyimpanan online sekaligus media social di dunia maya. Kita dapat berbagi apapun dan berinteraksi social tanpa di batasi oleh jarak dan waktu. Namun demikian, ada hal yang patut menjadi perhatian kita sebagai pengguna media-media tersebut. Hal yang perlu kita perhatikan adalah etika untuk berbagi dan batasan untuk berbagi kepada sesama pengguna. Ada berbagai pihak yang merasa di rugikan karena media penyimpanan online tersebut menjadi tempat penyalahgunaan hak cipta, tempat penyebaran data-data yang tak layak untuk di sebarkan dan tak memiliki izin untuk di sebarkan. Bagi penyedia jasa dan penyedia media online tersebut ada baiknya memiliki monitoring yang sangat baik dari aktifias2 para user nya dalam menggunakan layanan online tersebut. Sehingga dapat meminimalisir penyebaran data dan pembagian data yang tak legal. Penyedia layanan tersebut telah menyediakan tempat untuk kita berinteraksi dan berbagi, maka lebih bijaklah kita untuk menggunakannya, sehingga keberadaan layanan online seperti itu dapat terus mendatangkan hal-hal yang baik dan bermanfaat.

Sebagai salah satu contoh adalah penyebaran video, lagu ataupun aplikasi-aplikasi tertentu yang di bagi secara bebas, dan kenyataanya video, lagu, ataupun aplikasi tersebut banyak mengandung unsur pelanggaran hak cipta dan tanpa adanya izin dari pemilik nya. Tak dapat di sangkal, saat ini kita yang belum mampu menikmati aplikasi, lagu, video ataupun yang lain memilih jalan untuk mencari yang ”gratisan” di internet. Namun di sadari atau tidak ada ada dampak di sisi lain mengenai “kelakuan” kita seperti itu. Bagi kita semua, pengguna dan penikmat informasi dan orang yang gemar berbagi info dan pengetahuan, lebih baiknya untuk berpikir dua kali atau memepertimbangkan apa saja yang dapat kita bagi kepada public, sehingga semua orang senang dan kita dapat “eksis” namun di sisi lain kita mampu meminimalisir penyalahgunaan di internet, khususnya dalam media social dan media berbagi online….

Have nice surfing and browsing…..

Minggu, 01 Mei 2011

Pendidikan, Bekal Hidup Sampai Mati…… ( HARI PENDIDIKAN NASIONAL 2011 )

Pendidikan memang sangat penting, pendidikan berawal dari sejak kita sebagai manusia berada dalam kandungan sang ibu, dalam kandungan, janin sudah mulai belajar dari lingungan luar, terutama dari sikap dan perilaku ibunya. Setelah janin itu lahir, pendidikan baru pun akan dia jalani. Pendidikan informal dalam keluarga adalah pendidikan yang sangat penting bagi kehidupan kita, karena dari keluarga lah anak-anak dididik oleh orang tuanya dan akan menjadi Fondasi pertama bagi anak untuk mendapatkan pengetahuan, pendidikan agar nantinya dia diharapkan menjadi pribadi yang baik, yang telah dipengaruhi oleh gaya mendidik dan pendidikan yang diberikan oleh orang tua, seperti apa kata orang-orang “bayi yang lahir yang akan tumbuh dan berkembang layaknya seperti kertas putih nan bersih, tinggal lah orang tuanya akan menulis apa di atas kertas putih itu”. Jika fondasi ilmu manusia yang didapat dalam keluarga baik maka akan menjadikan hal yang baik bagi anak dalam pertumbuhan dan perkembangannnya, anak-anaka kan menjadi pribadi yang memiliki fondasi yang bagus dan mereka akan mampu belajar lebih banyak dan lebih baik lagi serta mereka pun tak kan mudah goyang dari hal-hal yang berpengaruh negatif bagi dirinya, karena fondasi awal yang dia dapat dari keluarga kuat.
Pendidikan manusia tidak hanya mengasah aspek kecerdasan intelektual saja, tetapi juga kecerdasan lain misalnya aspek kecerdasan emosional dan spiritual. Dengan keseimbangan semua aspek kecerdasan ini maka manusia akan menjadi pribadi yang baik, mantap, memiliki kepemimpinan yang baik dan juga dapat menjadi orang-orang yang menjadi tuntunan atau suri tauladan bagi orang lain. Jika manusia hanya dominan dalam kecerdasan intelektual saja mereka tak kan memiliki rasa terhadap keadaan dilingkungannya. Banyak kita lihat di sekeliling kita , “banyak orang-orang pinter tapi ga bener” kecerdasan intelektual mereka tinggi, namun kecerdasan emosi dan spiritual mereka rendah, sehingga berdampak jelek dan negative seperti banyaknya korupsi, pemimpin tidak amanah, dan lainnya. Pendidikan dapat kita terima dari mana saja, keluarga, lingkungan, sekolah tempat kerja, tempat bergaul,masjid, madrasah, dimanapun. Dengan kita menyadari pentingnya ilmu dan pendidikan kita, tidak hanya pendidikan untuk di dunia namun juga pendidikan agama untuk bekal di akhirat nanti kita akan terus semangat menggali potensi dan mencari pengetahuan yang lebih dan baik untuk kehidupan kita di dunia dan di akhirat kelak.
Belajar dari apapun, kapanpun dan dimanapun adalah ciri manusia yang akan sukses untuk hidupnya di akhirat dan di dunia. Jika kita berilmu dan berpendidikan, berbagilah dengan orang lain, karena sebaik-baiknya manusia adalah orang yang paling banyak memberikan manfaat bagi orang lain.
Belajar untuk sekarang dan untuk masa depan adalah hal yang sangat penting bagi kita. Belajar tidak memandang kaya atau miskin, tak memandang kasta dan drajat, belajar adalah hak tiap orang. Dengan semangat yang tinggi untuk belajar baik pendidikan agama dan pendidikan umum kita akan menjadi pribadi yang baik, yang diharapkan oleh banyak orang. Pendidikana adalah asset, pendidikan adalah bekal.

originaly post on: belajarsepanjanghayatku.wordpress.com

Rabu, 09 Maret 2011

UNTUK RENUNGAN (MARET 2011)

LIMA belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat.

Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat, bagus sekali. Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa. Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana.

Saya memintanya memperbaiki kembali,sampai dia menyerah.Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberi nilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri. Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat. “Maaf Bapak dari mana?” “Dari Indonesia,” jawab saya. Dia pun tersenyum.

Budaya Menghukum

Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya. Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat. “Saya mengerti,” jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik itu.
“Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anakanaknya dididik di sini,” lanjutnya. “Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai. Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement!” Dia pun melanjutkan argumentasinya.

“Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbedabeda. Namun untuk anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat,” ujarnya menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya.

Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita.Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang bergelimang nilai “A”, dari program master hingga doktor.

Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam. Saat ujian program doktor saya pun dapat melewatinya dengan mudah.

Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar siap. Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya.

Mereka menunjukkan grafikgrafik yang saya buat dan menerangkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti. Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuh keterbukaan. Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut “menelan” mahasiswanya yang duduk di bangku ujian.

Ketika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan, penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap seakanakan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Saya sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi. Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga menguji dengan cara menekan.Ada semacam balas dendam dan kecurigaan.

Saya ingat betul bagaimana guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah anak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel. Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan karakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak. Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya.

“Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan,” ujarnya dengan penuh kesungguhan. Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal.

Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut. “Sarah telah memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah telah menunjukkan kemajuan yang berarti.

Malam itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah memberi penilaian yang tidak objektif. Dia pernah protes saat menerima nilai E yang berarti excellent (sempurna), tetapi saya mengatakan “gurunya salah”. Kini saya melihatnya dengan kacamata yang berbeda.

Melahirkan Kehebatan

Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan rasa takut?

Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru,sundutan rokok, dan seterusnya. Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas...; Kalau,...; Nanti,...; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah.

Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi lebih disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan inisiatif dan mengendurkan semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya,dapat tumbuh.Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang sering saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh.

Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh. Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan ancaman atau ketakutan.
Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau memberi ancaman yang menakut-nakuti.

*) Rhenald Kasali, Ketua Program MM UI
adiwgunawan.com

Minggu, 20 Februari 2011

Pentingnya Menjaga Pikiran Tetap Aktif Dan Positif

Beberapa hari lalu saya kedatangan klien dari luar kota. Ibu ini, sebut saja, Bu Ani, mengeluhkan cukup banyak hal. Beberapa di antaranya adalah sulit tidur, jantung berdebar, produksi asam lambung berlebihan, takut gelap, dan kecemasan yang cukup tinggi.
Singkat cerita, setelah melalui proses wawancara mendalam saya mendapatkan beberapa hal penting sebagai titik awal terapi yang akan saya lakukan. Salah satu sumber masalah adalah emosi marah, terluka, kecewa, sakit hati, dan jengkel terhadap suaminya.

Apa yang harus dilakukan dalam kondisi ini? Apakah saya akan melakukan regresi untuk menemukan sumber masalah? Apakah saya akan melakukan Hypno-EFT untuk menetralisir emosinya? Ataukah dengan teknik yang lain?

Sebenarnya untuk membereskan suatu masalah, lebih tepatnya emosi negatif, tidaklah sulit. Ada sangat banyak teknik yang bisa digunakan, yang telah teruji secara klinis mampu membereskan emosi-emosi negatif seintens apapun. Namun dalam kasus ini saya tidak bisa melakukan regresi maupun teknik lain untuk menemukan akar masalah. Lha, buat apa diregresi? Sumber masalahnya sudah jelas.

Masalah ini, tentunya berdasarkan versi Bu Ani, yang disebabkan oleh pemberian makna terhadap tindakan atau perbuatan suaminya terhadap dirinya, selalu benar menurut pikiran klien. Dalam hal ini klien tidak bisa dan tidak boleh disalahkan sama sekali. Yang perlu dilakukan adalah menetralisir emosinya dan diikuti dengan reedukasi pikiran bawah sadar.

Namun yang menjadi pertanyaan adalah, “Katakanlah emosi Bu Ani sudah berhasil dinetralisir, tapi kan ia masih tinggal bersama suaminya, yang notabene adalah sumber masalahnya. Nanti pasti muncul lagi emosi negatifnya. Kalau begini terus kan capek deh. Apa yang harus dilakukan?’

Ini tentunya tidak mudah. Yang dihadapi klien ini masuk dalam kategori ‘Unresolved Present Issue”. Artinya, masalah yang dihadapi klien adalah masalah yang terjadi dari masa lalu, berlanjut hingga masa sekarang, dan bisa berlangsung terus hingga ke masa depan.

Singkat cerita setelah terapi Bu Ani merasa sangat lega. Edukasi pikiran bawah sadarnya juga berlangsung dengan mudah. Barusan saya melakukan follow up keadaannya. Dari jawaban yang dikirim oleh anak Bu Ani katanya sekarang kondisi ibunya sudah sangat baik dan stabil. Dengan demikian apa yang dilakukan oleh suaminya sudah tidak lagi memengaruhi Bu Ani.

Anda pasti bertanya, “Pak Adi, apa yang Bapak lakukan pada Bu Ani sehingga apa yang dilakukan suaminya sudah tidak lagi memengaruhi dirinya?”

He..he.. kalau ini nggak bisa saya jawab di sini ya. Bukannya saya nggak mau. Tapi akan sangat panjang dan teknis.

Salah satu hal yang saya sarankan untuk Ibu Ani lakukan adalah ia perlu menyibukkan dirinya dengan hal-hal yang positif dan konstruktif. Lha, selama ini, yang kerja suami dan anaknya. Bu Ani praktis jadi pengacara alis pengangguran tanpa acara. Yang Bu Ani lakukan setiap hari adalah menonton sinetron dan berbagai acara televisi yang masuk kategori negatif dan provokatif. Nggak perlu saya sebutkan ya, anda tahulah sendiri maksud saya.

Bu Ani sendiri mengakui bahwa dulu waktu anak-anaknya masih kecil, pikirannya tidak senegatif sekarang ini. Memang ada masalah dalam keluarga. Tapi ini biasa saja dan tidak terlalu memengaruhi dirinya. Saat anaknya mulai besar dan sekolah atau kuliah di Surabaya, nah saat itulah perasaan tidak nyaman mulai mendera dirinya. Sampai saat ia bertemu dengan saya. Dan memang hal ini diperparah oleh tindakan suaminya.

Nah, pikiran yang menganggur, yang hanya diisi dengan hal-hal negatif, justru akan semakin berbahaya. Salah satu sifat pikiran adalah aktif memikirkan sesuatu, baik itu yang positif atau yang negatif. Dan dari pengalaman terbukti bahwa pikiran kita lebih cenderung memikirkan hal-hal negatif daripada yang positif. Lho, kok bisa begini?

Kita ini dari kecil lebih banyak menerima program negatif. Ada yang mengatakan bahwa perbandingan hal positif dan negatif yang kita terima sejak kecil adalah satu berbanding empat belas. Maksudnya, untuk satu hal positif maka ada sekitar empat belas hal negatif lain yang kita juga terima.

Saya jadi teringat rekan saya, Pak Merta Ada, guru meditasi terkenal dari Bali, yang juga berbicara di Quantum Life Transformation Weekend di Jakarta baru-baru ini. Pak Merta mengatakan bahwa jika tidak dijaga maka pikiran akan cenderung mengarah ke hal-hal negatif. Pikiran negatif ini akan mengakibatkan timbulnya energi negatif yang selanjutnya akan mempengaruhi tubuh cakra, tubuh meridian, dan akhirnya akan memengaruhi tubuh fisik kita.

Nah,untuk mengatasi hal-hal negatif inilah saya menyarankan Bu Ani untuk mulai menyibukkan dirinya dengan hal-hal yang positif. Misalnya membantu mengasuh cucunya, menanam dan merawat tanaman yang ia suka, karaoke, mengikuti kegiatan gereja, senam, dancing, aktif melakukan bakti sosial, membaca, meditasi, atau apapun itu yang bisa menyibukkan dirinya secara positif.

Pikiran yang disibukkan dengan hal-hal positif dapat menetralisir hal-hal negatif yang sebenarnya tidak negatif. Sesuatu yang sebenarnya tidak negatif menjadi negatif karena pikiran yang menganggur nggak ada kerjaan mencari-cari kesibukan sendiri, tidak terkendali, dan akhirnya menghasilkan kebosanan atau bahkan emosi negatif.

Saat pikiran mulai negatif biasanya kita tidak menyadarinya. Ibarat bola salju yang baru bergulir turun dari atas bukit. Semakin lama bola salju ini semakin besar baik ukuran maupun momentumnya, hingga suatu saat kita menyadarinya namun sudah terlambat. Kita digulung, larut, dan dikuasai oleh pikiran negatif. Jika sudah mencapai level ini maka sangatlah sulit untuk menghentikan pikiran negatif dengan cara biasa.

sumber :quantumlifetransformation.com

Rabu, 16 Februari 2011

Cara Pikiran Memproses Informasi >>>>> 2011

Proses masuknya informasi yang berasal dari luar diri kita hingga menjadi memori yang tersimpan di bawah sadar adalah sebagai berikut. Pertama, karena begitu banyaknya bit informasi yang diterima seseorang, ada sekitar 2.000.000 bit, maka pikiran sadar perlu melakukan filter berdasarkan kriteria berikut:

• Informasi yang paling kuat atau berpengaruh
• Informasi yang berhubungan dengan keselamatan hidup (menurut pemikiran pikiran bawah sadar) atau
• Aspek yang sejalan dengan preferensi sistem sensori anda (visual, auditori, atau kinestetik) . Kita cenderung lebih memperhatikan salah satu aspek daripada yang lainnya.

Stimulus adalah informasi apa saja yang masuk melalui panca indera, atau yang dihasilkan oleh pikiran sendiri, bisa berasal dari suatu memori atau suatu skenario pemikiran.

Setelah proses saringan awal selesai dilakukan, informasi tiba di bagian otak yang dinamakan thalamus. Thalamus bertugas mengirim “bahan mentah” informasi ke bagian otak yang bertugas memproses informasi sesuai dengan komponennya, misalnya warna, kontras, gerakan, suara, dan lain sebagainya.

Satu hal menarik yaitu saat bagian otak, setelah menerima dan memproses tiap komponen informasi, mengirimnya kembali ke thalamus, ternyata informasinya telah bertambah semkitar 80% lebih banyak daripada saat pertama kali diterima. Otak ternyata telah menambahkan lebih banyak informasi daripada saat pertama kali informasi itu diterima. Hal ini berarti 80% dari persepsi kita terhadap suatu informasi adalah hasil rekayasa kita sendiri, bukan apa informasi itu adanya.

Dengan kata lain diri kitalah yang sebenarnya menentukan apa yang kita persepsikan, dan persepsi bergantung pada pembelajaran atau pengalaman sebelumnya. Saat kita melihat sebuah kursi kita mengenalinya sebagai sebuah kursi karena kita telah melihat kursi sebelumnya. Jika kursi yang sama kita tunjukkan pada anak kecil, yang sebelumnya sama sekali belum pernah melihat atau tahu tentang kursi,maka anak ini besar kemungkinannya akan mencoba berbicara, mencium, menggigit, merasa, atau mencoba duduk di atasnya.

Lalu, apakah sebenarnya informasi tambahan 80% ini dan dari mana datangnya ?

Semuanya berasal dari hasil pembelajaran kita mulai kecil hingga dewasa. Sejak kita lahir kita telah membangun model dunia yang kita gunakan untuk menjalani hidup kita. Model ini menentukan pemahaman kita bagaimana dunia sekitar kita berjalan dan bagaimana kita bisa menjelajahi dunia dengan aman dan selamat. Kita menggunakan model ini sebagai peta navigasi dalam menelusuri belantara kehidupan.

Saat dewasa kita merasa yakin telah berhasil membangun model dunia yang kita gunakan untuk menjalani hidup yang berhasil. Namun benarkah hal ini? Banyak orang gagal atau sulit sekali berhasil karena mereka menggunakan peta yang tidak akurat. Peta yang sudah kuno dan tidak pernah di-update.

Kita sering salah karena menganggap peta adalah realita. Albert Korzybski dengan sangat bijak menyatakan, dalam Science and Sanity, “The map is not the territory it represents”.

Bandler dan Grinder, dalam The Structure of Magic (vol 1) menjelaskan dengan sangat bagus bagaimana kita mengatur pengalaman atau apa yang kita alami hingga akhirnya menjadi model dunia kita. Mereka menyebutnya dengan “universal processes of human modelling” yaitu “deletion”, “distortion”, dan “generalisation”.

Deletion adalah proses di mana filter pikiran kita “menghapus” informasi yang dirasa atau dipersepsi tidak penting atau relevan sebelum informasi itu sampai di pikiran sadar atau kita sadari. Dengan kata lain, hanya informasi yang dirasa bermanfaat atau relevan saja yang bisa masuk ke wilayah kesadaran kita.

Contohnya, saat ini, saat anda membaca artikel ini, anda pasti tidak menyadari suara halus dari kipas komputer anda. Atau anda tidak merasakan sensasi tubuh anda yang saat ini sedang duduk di kursi. Nah, baru setelah saya menyatakan hal ini maka anda sekarang menyadari sensasi (informasi) yang tadinya tidak anda sadari karena dianggap tidak penting atau relevan.

Bisa anda bayangkan bagaimana repotnya kita jika semua informasi atau sensasi itu masuk ke pikiran sadar tanpa disaring terlebih dahulu?

Aldus Huxley menulis dalam The Doors of Perception, “Experience has to be funnelled through the reducing valve of brain and nervous system. What comes out the end is a measly trickle of the kind of consciousness which help us to stay alive on the surface of this particular planet.”

Distortion adalah kondisi di mana kita tidak melihat sesuatu apa adanya namun lebih berdasarkan ekspektasi tertentu sehingga apa yang kita lihat akan terpengaruh sedemikian rupa agar sejalan atau sesuai dengan model dunia yang ada di pikiran kita.

Contohnya begini. Pernahkah anda bertemu dengan seorang kawan dan tidak menyadari bahwa kawan anda ini baru memotong rambutnya mengikuti model terbaru? Baru setelah beberapa saat anda mulai menyadari ada yang lain dengan kawan anda ini. Dan selang beberapa saat barulah anda benar-benar sadar atau tahu bahwa model rambut kawan anda telah berubah.

Dalam studi mengenai persepsi dikenal istilah Difference Threshold yaitu jumlah stimulasi minimal yang dibutuhkan sistem saraf pusat untuk mengenali perbedaan di antara dua stimuli yang berbeda - misalnya bagaimana wajah kawan anda, saat sekarang anda bertemu dengannya, dengan bagaimana wajah kawan anda berdasarkan memori anda sebelumnya.

Generalisation adalah dasar dari proses pembelajaran. Dengan generalisasi kita melakukan pencarian pola tertentu saat kita berinteraksi dengan lingkungan dan orang lain. Generalisasi bekerja dengan tiga algoritma dasar berikut:

A = B artinya hal yang satu ini sama dengan hal yang itu.
A ≠ B artinya hal yang satu ini tidak sama dengan hal yang itu.
C -> E artinya hal ini mengakibatkan terjadinya hal itu. Ini dikenal dengan hukum “Sebab-Akibat”

Generalisasi sangat membantu hidup kita. Bila kita bertemu dengan pintu, maka apa yang terpasang di pintu itu, yang bentuknya bisa macam-macam, kita tahu benda itu bisa diputar atau ditekan ke bawah sehingga pintu akan terbuka. Kita tidak perlu lagi mempelajari apakah benda itu dan bagaimana cara kerjanya. Ini adalah handle pintu dan kita tahu cara kerjanya.

Namun generalisasi juga akan membuat diri kita susah jika kita tidak menyadari kelemahannya. Para psikolog melakukan eksperimen pada 100 orang. Subjek penelitian dimasukkan ke dalam suatu ruangan dan diminta untuk keluar dari ruangan ini melalui satu pintu. Semua subjek penelitian mencoba membuka pintu dengan cara memegang handle lalu mendorong atau menariknya. Pintu tidak bergerak sama sekali. Mereka menyimpulkan bahwa pintu terkunci.

Nah, pertanyaan saya pada anda, “Apa yang akan anda lakukan untuk membuka pintu ini?”

Jangan meneruskanmembaca. Coba berpikir dulu. Sudah ketemu jawabannya?

Kalau masih tetap nggak nemu, ini saya kasih jawabannya. Pintu ini dirancang dengan posisi engsel berada di sisi yang sama dengan handle pintu. Jadi, yang perlu dilakukan adalah dorong pintu di sisi satunya maka pintu pasti akan terbuka. He..he… gitu aja kok repot.