Minggu, 20 Februari 2011

Pentingnya Menjaga Pikiran Tetap Aktif Dan Positif

Beberapa hari lalu saya kedatangan klien dari luar kota. Ibu ini, sebut saja, Bu Ani, mengeluhkan cukup banyak hal. Beberapa di antaranya adalah sulit tidur, jantung berdebar, produksi asam lambung berlebihan, takut gelap, dan kecemasan yang cukup tinggi.
Singkat cerita, setelah melalui proses wawancara mendalam saya mendapatkan beberapa hal penting sebagai titik awal terapi yang akan saya lakukan. Salah satu sumber masalah adalah emosi marah, terluka, kecewa, sakit hati, dan jengkel terhadap suaminya.

Apa yang harus dilakukan dalam kondisi ini? Apakah saya akan melakukan regresi untuk menemukan sumber masalah? Apakah saya akan melakukan Hypno-EFT untuk menetralisir emosinya? Ataukah dengan teknik yang lain?

Sebenarnya untuk membereskan suatu masalah, lebih tepatnya emosi negatif, tidaklah sulit. Ada sangat banyak teknik yang bisa digunakan, yang telah teruji secara klinis mampu membereskan emosi-emosi negatif seintens apapun. Namun dalam kasus ini saya tidak bisa melakukan regresi maupun teknik lain untuk menemukan akar masalah. Lha, buat apa diregresi? Sumber masalahnya sudah jelas.

Masalah ini, tentunya berdasarkan versi Bu Ani, yang disebabkan oleh pemberian makna terhadap tindakan atau perbuatan suaminya terhadap dirinya, selalu benar menurut pikiran klien. Dalam hal ini klien tidak bisa dan tidak boleh disalahkan sama sekali. Yang perlu dilakukan adalah menetralisir emosinya dan diikuti dengan reedukasi pikiran bawah sadar.

Namun yang menjadi pertanyaan adalah, “Katakanlah emosi Bu Ani sudah berhasil dinetralisir, tapi kan ia masih tinggal bersama suaminya, yang notabene adalah sumber masalahnya. Nanti pasti muncul lagi emosi negatifnya. Kalau begini terus kan capek deh. Apa yang harus dilakukan?’

Ini tentunya tidak mudah. Yang dihadapi klien ini masuk dalam kategori ‘Unresolved Present Issue”. Artinya, masalah yang dihadapi klien adalah masalah yang terjadi dari masa lalu, berlanjut hingga masa sekarang, dan bisa berlangsung terus hingga ke masa depan.

Singkat cerita setelah terapi Bu Ani merasa sangat lega. Edukasi pikiran bawah sadarnya juga berlangsung dengan mudah. Barusan saya melakukan follow up keadaannya. Dari jawaban yang dikirim oleh anak Bu Ani katanya sekarang kondisi ibunya sudah sangat baik dan stabil. Dengan demikian apa yang dilakukan oleh suaminya sudah tidak lagi memengaruhi Bu Ani.

Anda pasti bertanya, “Pak Adi, apa yang Bapak lakukan pada Bu Ani sehingga apa yang dilakukan suaminya sudah tidak lagi memengaruhi dirinya?”

He..he.. kalau ini nggak bisa saya jawab di sini ya. Bukannya saya nggak mau. Tapi akan sangat panjang dan teknis.

Salah satu hal yang saya sarankan untuk Ibu Ani lakukan adalah ia perlu menyibukkan dirinya dengan hal-hal yang positif dan konstruktif. Lha, selama ini, yang kerja suami dan anaknya. Bu Ani praktis jadi pengacara alis pengangguran tanpa acara. Yang Bu Ani lakukan setiap hari adalah menonton sinetron dan berbagai acara televisi yang masuk kategori negatif dan provokatif. Nggak perlu saya sebutkan ya, anda tahulah sendiri maksud saya.

Bu Ani sendiri mengakui bahwa dulu waktu anak-anaknya masih kecil, pikirannya tidak senegatif sekarang ini. Memang ada masalah dalam keluarga. Tapi ini biasa saja dan tidak terlalu memengaruhi dirinya. Saat anaknya mulai besar dan sekolah atau kuliah di Surabaya, nah saat itulah perasaan tidak nyaman mulai mendera dirinya. Sampai saat ia bertemu dengan saya. Dan memang hal ini diperparah oleh tindakan suaminya.

Nah, pikiran yang menganggur, yang hanya diisi dengan hal-hal negatif, justru akan semakin berbahaya. Salah satu sifat pikiran adalah aktif memikirkan sesuatu, baik itu yang positif atau yang negatif. Dan dari pengalaman terbukti bahwa pikiran kita lebih cenderung memikirkan hal-hal negatif daripada yang positif. Lho, kok bisa begini?

Kita ini dari kecil lebih banyak menerima program negatif. Ada yang mengatakan bahwa perbandingan hal positif dan negatif yang kita terima sejak kecil adalah satu berbanding empat belas. Maksudnya, untuk satu hal positif maka ada sekitar empat belas hal negatif lain yang kita juga terima.

Saya jadi teringat rekan saya, Pak Merta Ada, guru meditasi terkenal dari Bali, yang juga berbicara di Quantum Life Transformation Weekend di Jakarta baru-baru ini. Pak Merta mengatakan bahwa jika tidak dijaga maka pikiran akan cenderung mengarah ke hal-hal negatif. Pikiran negatif ini akan mengakibatkan timbulnya energi negatif yang selanjutnya akan mempengaruhi tubuh cakra, tubuh meridian, dan akhirnya akan memengaruhi tubuh fisik kita.

Nah,untuk mengatasi hal-hal negatif inilah saya menyarankan Bu Ani untuk mulai menyibukkan dirinya dengan hal-hal yang positif. Misalnya membantu mengasuh cucunya, menanam dan merawat tanaman yang ia suka, karaoke, mengikuti kegiatan gereja, senam, dancing, aktif melakukan bakti sosial, membaca, meditasi, atau apapun itu yang bisa menyibukkan dirinya secara positif.

Pikiran yang disibukkan dengan hal-hal positif dapat menetralisir hal-hal negatif yang sebenarnya tidak negatif. Sesuatu yang sebenarnya tidak negatif menjadi negatif karena pikiran yang menganggur nggak ada kerjaan mencari-cari kesibukan sendiri, tidak terkendali, dan akhirnya menghasilkan kebosanan atau bahkan emosi negatif.

Saat pikiran mulai negatif biasanya kita tidak menyadarinya. Ibarat bola salju yang baru bergulir turun dari atas bukit. Semakin lama bola salju ini semakin besar baik ukuran maupun momentumnya, hingga suatu saat kita menyadarinya namun sudah terlambat. Kita digulung, larut, dan dikuasai oleh pikiran negatif. Jika sudah mencapai level ini maka sangatlah sulit untuk menghentikan pikiran negatif dengan cara biasa.

sumber :quantumlifetransformation.com

Rabu, 16 Februari 2011

Cara Pikiran Memproses Informasi >>>>> 2011

Proses masuknya informasi yang berasal dari luar diri kita hingga menjadi memori yang tersimpan di bawah sadar adalah sebagai berikut. Pertama, karena begitu banyaknya bit informasi yang diterima seseorang, ada sekitar 2.000.000 bit, maka pikiran sadar perlu melakukan filter berdasarkan kriteria berikut:

• Informasi yang paling kuat atau berpengaruh
• Informasi yang berhubungan dengan keselamatan hidup (menurut pemikiran pikiran bawah sadar) atau
• Aspek yang sejalan dengan preferensi sistem sensori anda (visual, auditori, atau kinestetik) . Kita cenderung lebih memperhatikan salah satu aspek daripada yang lainnya.

Stimulus adalah informasi apa saja yang masuk melalui panca indera, atau yang dihasilkan oleh pikiran sendiri, bisa berasal dari suatu memori atau suatu skenario pemikiran.

Setelah proses saringan awal selesai dilakukan, informasi tiba di bagian otak yang dinamakan thalamus. Thalamus bertugas mengirim “bahan mentah” informasi ke bagian otak yang bertugas memproses informasi sesuai dengan komponennya, misalnya warna, kontras, gerakan, suara, dan lain sebagainya.

Satu hal menarik yaitu saat bagian otak, setelah menerima dan memproses tiap komponen informasi, mengirimnya kembali ke thalamus, ternyata informasinya telah bertambah semkitar 80% lebih banyak daripada saat pertama kali diterima. Otak ternyata telah menambahkan lebih banyak informasi daripada saat pertama kali informasi itu diterima. Hal ini berarti 80% dari persepsi kita terhadap suatu informasi adalah hasil rekayasa kita sendiri, bukan apa informasi itu adanya.

Dengan kata lain diri kitalah yang sebenarnya menentukan apa yang kita persepsikan, dan persepsi bergantung pada pembelajaran atau pengalaman sebelumnya. Saat kita melihat sebuah kursi kita mengenalinya sebagai sebuah kursi karena kita telah melihat kursi sebelumnya. Jika kursi yang sama kita tunjukkan pada anak kecil, yang sebelumnya sama sekali belum pernah melihat atau tahu tentang kursi,maka anak ini besar kemungkinannya akan mencoba berbicara, mencium, menggigit, merasa, atau mencoba duduk di atasnya.

Lalu, apakah sebenarnya informasi tambahan 80% ini dan dari mana datangnya ?

Semuanya berasal dari hasil pembelajaran kita mulai kecil hingga dewasa. Sejak kita lahir kita telah membangun model dunia yang kita gunakan untuk menjalani hidup kita. Model ini menentukan pemahaman kita bagaimana dunia sekitar kita berjalan dan bagaimana kita bisa menjelajahi dunia dengan aman dan selamat. Kita menggunakan model ini sebagai peta navigasi dalam menelusuri belantara kehidupan.

Saat dewasa kita merasa yakin telah berhasil membangun model dunia yang kita gunakan untuk menjalani hidup yang berhasil. Namun benarkah hal ini? Banyak orang gagal atau sulit sekali berhasil karena mereka menggunakan peta yang tidak akurat. Peta yang sudah kuno dan tidak pernah di-update.

Kita sering salah karena menganggap peta adalah realita. Albert Korzybski dengan sangat bijak menyatakan, dalam Science and Sanity, “The map is not the territory it represents”.

Bandler dan Grinder, dalam The Structure of Magic (vol 1) menjelaskan dengan sangat bagus bagaimana kita mengatur pengalaman atau apa yang kita alami hingga akhirnya menjadi model dunia kita. Mereka menyebutnya dengan “universal processes of human modelling” yaitu “deletion”, “distortion”, dan “generalisation”.

Deletion adalah proses di mana filter pikiran kita “menghapus” informasi yang dirasa atau dipersepsi tidak penting atau relevan sebelum informasi itu sampai di pikiran sadar atau kita sadari. Dengan kata lain, hanya informasi yang dirasa bermanfaat atau relevan saja yang bisa masuk ke wilayah kesadaran kita.

Contohnya, saat ini, saat anda membaca artikel ini, anda pasti tidak menyadari suara halus dari kipas komputer anda. Atau anda tidak merasakan sensasi tubuh anda yang saat ini sedang duduk di kursi. Nah, baru setelah saya menyatakan hal ini maka anda sekarang menyadari sensasi (informasi) yang tadinya tidak anda sadari karena dianggap tidak penting atau relevan.

Bisa anda bayangkan bagaimana repotnya kita jika semua informasi atau sensasi itu masuk ke pikiran sadar tanpa disaring terlebih dahulu?

Aldus Huxley menulis dalam The Doors of Perception, “Experience has to be funnelled through the reducing valve of brain and nervous system. What comes out the end is a measly trickle of the kind of consciousness which help us to stay alive on the surface of this particular planet.”

Distortion adalah kondisi di mana kita tidak melihat sesuatu apa adanya namun lebih berdasarkan ekspektasi tertentu sehingga apa yang kita lihat akan terpengaruh sedemikian rupa agar sejalan atau sesuai dengan model dunia yang ada di pikiran kita.

Contohnya begini. Pernahkah anda bertemu dengan seorang kawan dan tidak menyadari bahwa kawan anda ini baru memotong rambutnya mengikuti model terbaru? Baru setelah beberapa saat anda mulai menyadari ada yang lain dengan kawan anda ini. Dan selang beberapa saat barulah anda benar-benar sadar atau tahu bahwa model rambut kawan anda telah berubah.

Dalam studi mengenai persepsi dikenal istilah Difference Threshold yaitu jumlah stimulasi minimal yang dibutuhkan sistem saraf pusat untuk mengenali perbedaan di antara dua stimuli yang berbeda - misalnya bagaimana wajah kawan anda, saat sekarang anda bertemu dengannya, dengan bagaimana wajah kawan anda berdasarkan memori anda sebelumnya.

Generalisation adalah dasar dari proses pembelajaran. Dengan generalisasi kita melakukan pencarian pola tertentu saat kita berinteraksi dengan lingkungan dan orang lain. Generalisasi bekerja dengan tiga algoritma dasar berikut:

A = B artinya hal yang satu ini sama dengan hal yang itu.
A ≠ B artinya hal yang satu ini tidak sama dengan hal yang itu.
C -> E artinya hal ini mengakibatkan terjadinya hal itu. Ini dikenal dengan hukum “Sebab-Akibat”

Generalisasi sangat membantu hidup kita. Bila kita bertemu dengan pintu, maka apa yang terpasang di pintu itu, yang bentuknya bisa macam-macam, kita tahu benda itu bisa diputar atau ditekan ke bawah sehingga pintu akan terbuka. Kita tidak perlu lagi mempelajari apakah benda itu dan bagaimana cara kerjanya. Ini adalah handle pintu dan kita tahu cara kerjanya.

Namun generalisasi juga akan membuat diri kita susah jika kita tidak menyadari kelemahannya. Para psikolog melakukan eksperimen pada 100 orang. Subjek penelitian dimasukkan ke dalam suatu ruangan dan diminta untuk keluar dari ruangan ini melalui satu pintu. Semua subjek penelitian mencoba membuka pintu dengan cara memegang handle lalu mendorong atau menariknya. Pintu tidak bergerak sama sekali. Mereka menyimpulkan bahwa pintu terkunci.

Nah, pertanyaan saya pada anda, “Apa yang akan anda lakukan untuk membuka pintu ini?”

Jangan meneruskanmembaca. Coba berpikir dulu. Sudah ketemu jawabannya?

Kalau masih tetap nggak nemu, ini saya kasih jawabannya. Pintu ini dirancang dengan posisi engsel berada di sisi yang sama dengan handle pintu. Jadi, yang perlu dilakukan adalah dorong pintu di sisi satunya maka pintu pasti akan terbuka. He..he… gitu aja kok repot.